Rabu, 02 April 2014
Perbedaan Hukum di Indonesia dan Jepang
Alm. Satjipto Rahardjo (Prof. Tjip), penggagas Hukum
Progresif di Indonesia, beberapa kali membandingkan hukum Indonesia dan hukum
Jepang di beberapa bukunya. Berangkat dari pemikiran sederhana bahwa Indonesia
dan Jepang memiliki kesamaan dalam hal ‘pencangkokan’ hukum. Keduanya memiliki
budaya hukumnya sendiri hingga kemudian budaya hukum modern diperkenalkan dan
‘dicangkokan’ (transplanted) kepada Indonesia dan Jepang.
Jepang memiliki resistensi yang lebih kuat dibanding
Indonesia terhadap hukum modern. Budaya hukum Jepang masih terasa meskipun
menggunakan hukum modern. Indonesia mengenal hukum modern melalui penjajahan
yang dilakukan Belanda, negara yang sedang dijajah Perancis saat menjajah kita.
Sedikit berbeda dengan Indonesia, sejarah hukum pidana
Jepang lebih beragam mengingat beberapa hukum negara lain pernah dipakai dalam
rangka pembentukan hukum pidana Jepang. Pembabakan hukum asing yang digunakan
di Jepang dapat dibagi menjadi tiga tahapan (Hiroshi Oda. 2009:13). Pertama, di
abad ke-7 dan 8, saat Jepang mengadopsi sistem politik dan hukum Cina yang
berlaku hingga berakhirnya era Shogun Tokugawa (periode Edo, 1603-1868). Kedua,
pada pertengahan abad ke-19 dan awal abad ke-20, pada peralihan dari era Shogun
Tokugawa ke era Meiji (masa dimana Jepang mulai membuka diri terhadap dunia
luar). Pada masa ini hukum Eropa (Perancis dan kemudian Jerman) diadopsi
Jepang. Masa ini adalah masa dimana Revolusi Perancis terjadi, era
industrialisasi yang terjadi di Eropa juga berdampak ke Jepang. Di titik ini
pulalah kita (Indonesia) memiliki pertalian ‘silsilah hukum’ dengan Jepang,
mengingat KUHP (Kitab Undang Undag Hukum Pidana) yang kita gunakan juga berakar
dari Code Penal Perancis. Hingga kini kitab hukum pidana Jepang masih
menggunakan kitab hukum pidana yang diberlakukan sejak 1907, dengan berbagai
perubahan tentunya. Ketiga, pasca perang dunia ke-II, di masa ini Jepang yang
kalah perang dari Amerika nampak ‘dikendalikan’ Amerika. Dalam periode ini
beberapa undang-undang diamandemen atau digantikan dengan didasarkan pada hukum
Amerika. Konstitusi Jepang yang diundangkan 1946 misalnya, mengadopsi
konstitusi Amerika.
Jepang menjadi negara sekuler, memisah tegas ranah agama dan
negara. Ini dipicu oleh anggapan peran kelam agama dalam periode perang Dunia
ke-II. Dalam pandangan agama Shinto, kaisar adalah perwakilan Tuhan, sehingga
jika kaisar menginginkan perang maka rakyat harus patuh, dan keinginan kaisar ini
yang dipercaya Amerika memicu Jepang untuk berkuasa dan menyerang beberapa
negara lain (termasuk Indonesia). Maka agama harus dipisah tegas dari negara.
Ini menjadi latar belakang mengapa negara ini kemudian menjadi negara sekuler.
Sehingga itu pula sebabnya hingga kini agama tidak diajarkan di sekolah-sekolah
negeri di Jepang. Sebelumnya leluhur Jepang banyak menganut Shinto dan Buddha,
saat ini sebagian besar orang Jepang tak begitu percaya pada agama kecuali
hanya sebatas budaya.
Selain konstitusi, jenis hukum lainnya yang dipengaruhi
hukum Amerika adalah Hukum Acara Pidana Jepang yang mengadopsi Hukum Acara
Pidana Amerika. Ini menjadi keunikan tersendiri, sementara Kitab Hukum Pidana
Jepang mengadopsi Perancis/Jerman yang memiliki tradisicivil law/Eropa
Kontinental, Hukum Acara Pidana Jepang mengadopsi Amerika (Common
law/Anglo-Saxon) yang memiliki tradisi hukum yang berbeda dengancivil law.
Budaya Hukum yang Kuat
Dalam konteks sistem hukum, hukum dibagi kedalam tiga
subsistem: substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum. Substansi hukum
berkaitan denganrule of law, aturan materil dan formil dari suatu hukum.
Struktur hukum adalah instrumen struktur penegakan hukum seperti advokat,
kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Budaya hukum
adalah nilai-nilai, dan harapan-harapan terhadap hukum. Budaya hukum dibagi
menjadi dua bagian, budaya hukum internal, yakni nilai-nilai hukum yang ada
pada penegak hukum dan budaya hukum eksternal, nilai-nilai hukum yang terdapat
dalam masyarakat.
Pada konteks budaya hukum inilah terdapat kecenderungan
perbedaan yang besar antara Indonesia dan Jepang. Fenomena belakangan ini
mengabarkan pada kita bahwa masyarakat kita cenderung menjadi agresif,
emosional dan bahkan anarkis. Banyak konflik diselesaikan melalui jalur hukum.
Sehingga banyak perkara yang ‘tidak bermutu’ diangkat ke pengadilan. Padahal
dalam ranah ilmu hukum pidana sendiri, hukum pidana dirancang sebagai alat
terakhir penyelesai konflik jika sudah tak ada cara lain yang dapat menyelesaikannya.
Kita mulai terbiasa dengan hukum modern dan melupakan budaya hukum sendiri
seperti musyawarah, untuk mencari solusi bersama (win-win solution). Inilah
kekayaan budaya hukum kita yang mulai luntur. Hakim Agung Artidjo Alkotsar
pernah menulis kelemahan hukum modern dalam memutuskan perkara. Seiring dengan
diputusnya perkara, berakhir pula hubungan sosial kedua pihak yang berperkara
(tergugat-penggugat, pelaku-korban).
Fenomena menarik justru terjadi di Jepang, Prof Tjip pernah
menulis bahwa orang Jepang akan merasa gagal jika perkaranya harus diselesaikan
oleh pengadilan, itu artinya mereka tidak berhasil menyelesaikan masalah dengan
tradisi hukum Jepang. Saya menemukan konsistensi tulisan Prof Tjip dengan para
penulis Jepang dan atmosfer yang saya rasakan sendiri selama di Jepang. Bagi
orang-orang Jepang yang masih menjaga kehormatannya, menggunakan hukum modern
adalah hal yang memalukan, rasa malu inilah yang menjadi kunci dalam peradaban
Jepang. Hukum modern yang diadopsi tidak serta merta membuat Jepang lupa pada
tradisinya. Di Jepang kita akan dengan sangat mudah menemukan kata “sumimasen”
yang bisa berarti permisi, maaf atau terima kasih. Masyarakat Jepang terbiasa
meminta maaf jika melakukan kesalahan. Ada sebuah peristiwa fenomenal di tahun 1982
terkait dengan ini. Sebuah kecelakaan pesawat terjadi di Tokyo. Pesawat milik
Japan Airlines (JAL) dengan rute Fukuoka-Tokyo jatuh di perairan Tokyo.
Sebanyak 24 orang meninggal dunia dan 150 orang luka-luka. Takagi, Presiden
Japan Airlines, kemudian mendatangi nisan korban, para keluarganya, meminta
maaf dan membungkuk dalam-dalam. Tidak hanya itu, perusahaannya juga menjamin
pendidikan anak-anak korban. Tidak ada satupun gugatan peradilan yang diajukan
dalam perkara tersebut. Masih terkait budaya hukum Jepang, sebuah data lagi
mengabarkan bahwa terdapat 2262 kasus tercatat di tahun 1964 di Jepang, dan
hanya 1 kasus yang berlanjut ke pengadilan (Materi presentasi Koji Higashikawa
di Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, 2012).
Dalam konteks budaya hukum Jepang, pengadilan adalah jalan
terakhir yang ditempuh untuk menyelesaikan perkara. Sebuah sudut pandang lain
berupa hasil survey mengabarkan sebanyak 80% responden menjelaskan bahwa alasan
orang Jepang enggan menggunakan hukum modern adalah masalah waktu dan biaya
(Hiroshi Oda, 2009:5).
The grass is always greener on the other side of the fence,
rumput tetangga lebih hijau, begitu kata pepatah. Ada banyak hal baik di
Jepang. Meski demikian tentu saja tidak semuanya baik di Jepang. Angka bunuh
diri yang tinggi adalah salah satunya. Sekitar 30.000 orang tiap tahunnya
melakukan bunuh diri di Jepang. Tingkat stress di Jepang sangat tinggi, kondisi
ini diperparah dengan budaya Jepang yang secara umum sangat seragam sehingga
tidak terbiasa mengekspresikan diri. Menjadi berbeda dari yang lain tidaklah
umum di Jepang. Sisi gelap lain di Jepang adalah industri pornografi yang
menjamur. Di banyak mini market anda akan menemukan majalah-majalah porno
dipajang bebas. Bahkan di sebuah pertokoan ada outlet buku dan dvd khusus
bertanda 18+. Outlet-outlet ini dilegalkan di Jepang. Meski demikian sebagian
besar teman Jepang saya mengatakan berada di sana atau membelinya merupakan
‘aib’ dan akan malu jika bertemu seseorang yang kita kenal. Di Jepang moral publik
dan moral privat dipisah tegas sementara di kita nampak tak jelas. Pornografi
ilegal di Indonesia, tapi anda masih dapat menemukannya dengan mudah di pasar
gelap. Meski demikian saya percaya kita sedang menuju ke arah yang lebih baik.
Untuk itu kita memerlukan ketidakbaikan, anomali regulasi pornografi,
kasus-kasus kecil yang kurang bermutu, penegakan hukum yang tak jarang
menimbulkan korban salah hukum. Birokrat, legislator dan para penegak hukum
yang nakal dan korup. Kita ‘memerlukan’ mereka untuk menganalisa dalam rangka
menuju masa depan yang lebih baik. Jika kemudian muncul pertanyaan kapan masa
itu akan datang, kita tidak pernah tahu, mungkin pada beberapa generasi
kemudian, tapi paling tidak kita berbuat sesuatu, dimanapun, siapapun dan
apapun itu.
Penulis:
Ferry Fathurokhman, SH., MH.
Mahasiswa Doktor diKanazawa University, Jepang (ahli hukum
pidana, kriminologi dan keadilan restoratif).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
Ikeh Ikeh di jual bebas disana. Yang paling greget itu poster para model JAV dengan bangganya mempromosikan JAV nya di toko toko, ada apa dengan hukum pornografi disana ?
Bagaimana menurut bapak kenapa pelecehan di jepang rendah sedangkan di indonesia tinggi, padahal produksi film jepang tinhhi, dana apakah ada kosekuensi hukumbagi masyarakat jepang yang meyalahgunankan film porno itu
Mengapa di jepang ketika di sidang, terdakwa 90% bersalah, dan apakah ada upaya hukum lanjutan bahka sampai PK di jepang
Terima kasih
Posting Komentar